Aturan Beli BBM Gunakan Aplikasi My Pertamina Disorot Anggota DPR RI

Anggota Komisi VII DPR-RI Paramitha Widya Kusuma. /Ist

ARAH PANTURA, BREBES- Aturan baru bagi pembeli BBM jenis Pertalite dan Solar menggunakan aplikasi My Pertamina yang rencananya akan diberlakukan per 1 Juli 2022 menuai kontroversi.

Tidak hanya warganet di media sosial yang memprotes kebijakan ini. Kebijakan Pertamina juga disorot Anggota Komisi VII DPR-RI Paramitha Widya Kusuma.

Menurutnya, kebijakan baru Pertamina soal pembelian BBM (Pertalite dan Solar) jika diterapkan akan membingungkan masyarakat kecil karena dinilai sangat berbelit.

“Pada dasarnya saya tidak setuju dengan segala sesuatu yang membuat rakyat kecil ribet dan susah untuk mendapatkan apa yang sudah menjadi hak bagi mereka. apalagi menggunakan aplikasi seperti itu pasti banyak yang tidak paham,” kata Paramitha, Kamis (30/6/22) malam.

Beliau menjelaskan, akar permasalahan dari penggunaan aplikasi ini, salah satunya subsidi bisa akan tidak tepat sasaran. Seperti BBM bersubsidi tidak akan sampai kepada yang berhak.

“Makanya mau pakai aplikasi baru lagi, padahal dulu sudah ada program digitalisasi di lebih dari 5.500 SPBU. Lalu apa hasilnya digitalisasi SPBU yang selama ini digitaliasi ternyata tidak benar-benar dijalankan dengan baik,” jelas Paramitha.

Anggota Fraksi PDI-P DPR RI ini mengungkapkan, digitalisasi yang selama ini diterapkan dan sudah memakan dana triliyunan. Menurutnya lebih baik dan efektif ketimbang memakai aplikasi baru.

“Pertamina harusnya mengoptimalkan penggunaan digitalisasi yang sudah dipasang ketika Dirut Patra Niaga yang lama, Pak Mas’ud Khamid masih menjabat. Apalagi tujuan dari digitalisasi sudah jelas agar Pertamina punya data akurat dan transparan. Kalau saja penerapan digitalisasi itu dilakukan dengan baik, maka sebenarnya data penjualan Pertalite, Solar, dan Pertamax sudah ada jadi tidak perlu lagi pakai aplikasi baru untuk beli Pertalite,” ungkapnya.

BACA JUGA :  APBD Perubahan Tahun 2022 Diusulkan Naik

Selain itu, permasalahan kedua yakni soal pengawasan yang bertanggung jawab adalah BPH Migas. Bukan Pertamina dikarenakan Pertamina hanya menjalankan tugasnya untuk mengadakan dan menyalurkan BBM bersubsidi hingga ke daerah terpencil.

“Selama ini BPH Migas sebagai pihak yang harusnya bertanggung jawab dalam hal pengawasan, tidak menjalankan tugas-tugasnya dengan baik. Yang memutuskan kuota BBM untuk tiap daerah itu kan BPH Migas, ketika mereka sudah bagikan kuotanya, kenapa mereka tidak bisa mengawasi,” jelasnya

BBM Migas, tegas Paramitha yang harus bekerja sesuai dengan tupoksinya. Apalagi BBM yang dibeli konsumen dari setiap liternya yang dibeli konsumen, itu ada fee yang didapat oleh BPH Migas.

“Berarti selama ini masyarakat selalu bayar fee ke BPH Migas dari tiap liter pembelian BBM. Berarti fee yang dibayar oleh masyarakat sia-sia,” bebernya.

Solusinya menurut pandangan Paramitha yakni maksimalkan pemanfaatan digitalisasi yang sudah lebih dari 90% SPBU di Indonesia sudah terpasang alat digitaliasasi.

“Dari temuan di lapangan banyak alat digitalisasi yang tidak dijalankan dengan baik. Jangankan di Jakarta, di daerah lain seperti di Jateng, Jatim, Sumatera itu banyak temuan digitalisasi yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Itu saja yang harusnya dibetulkan terlebih dulu,” harap Paramitha.

BPH Migas juga diminta bekerja dengan tupoksi. Apalagi bila aplikasi my Pertamina diterapkan dan gagal dalam menyalurkan BBM bersubsidi kepada yang berhak, pasti yang diserang nanti Pertamina dan Patra Niaga, bukan BPH Migas.

“Kalau ada kelangkaan juga, pasti yang dibully Pertamina. Padahal BPH Migas yang bertanggung jawab sesuai dengan Undang-undang,” pungkasnya.***

Spread the love

Mungkin Anda juga menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *